SPPN DKI JAKARTA
Blognya Sekolah Pertanian DKI Jakarta n Tempat Gaulnya Para Siswa dan Alumnus SPN (SPP - SPMA) DKI Jakarta di Dunia Maya

SIGNIFIKAN PENINGKATAN PDB DARI TANAMAN HIAS

Thursday, June 12, 2008




Kontribusi PDB dari komoditas tanaman hias terhadap PDB hortikultura selama beberapa tahun terakhir menunjukkan rata-rata peningkatan yang signifikan, sehingga mengantarkan PDB hortikultura menempati urutan kedua setelah tanaman pangan. Nilai PDB tahun 2006 paling tinggi dari periode dua tahun sebelumnya, dengan nilai Rp. 5.719 miliar pada tahun tersebut atau meningkat lebih tinggi dari tahun 2005 dan 2004 yakni masing-masing Rp. 4.662 miliar dan Rp. 4.609 miliar bahkan tahun 2007 diprediksikan akan meningkat lebih besar lagi.
Rata-rata peningkatan PDB tersebut sekitar 11,91 persen, untuk buah-buahan meningkat 3,41 persen, sayuran 7,78 persen dan komoditi tanaman biofarmaka meningkat sebesar 147,14 persen.

Produksi tanaman hias utama tahun 2005 menurut sumber BPS untuk anggrek 7.902.403, anthurium 2.615.999, anyelir 2.216.123, gerbera 4.065.057, gladiol 14.512.619, heliconia 1.131.568, krisan 47.465.794, mawar 60.719.517 dan sedap malam 32.611.284. Sedangkan dracaena 1.131.621 batang, melati 22.552.537 kilogram dan palem 751.505 pohon. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di komoditi ini terjadi peningkatan sekitar 9,92 persen dari 1.744 orang menjadi 1.917 orang dan tenaga kerja ini hanya yang terlibat langsung di “on farm” belum dalam kegiatan pendukung/penyedia jasa seperti pengumpul, packaging, pengolahan, pemasaran dan pelaku udaha lain seperti pedagang bunga di pinggir jalan dan lain-lain.

Meningkatnya produksi ini terkait dengan meningkatnya kegiatan usaha tanaman hias dan meningkatnya pendapatan konsumen dan kesadaran penduduk akan keindahan lingkungan serta pembangunan industri pariwisata serta perhotelan yang semakin menambah suplai tanaman hias di pasar domestik. Oleh karena itu, ke depan pengembangan usaha tanaman hisa diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani, menambah devisa negara melalui ekspor tanaman hias termasuk bunga potong dan membantu membuka lapangan kerja baru di tanah air.

Menurut Direktur Budidaya Tanaman Hias, Ir. Agus Wediyanto M.Sc, dukungan pemerintah terhadap pengembangan komoditi ini dalam rangka meningkatkan kontribusi ekonomi nasional adalah penyediaan teknologi inovatif. Selain teknologi inovatif yang diperlukan adalah penguatan kelembagaan dan peningkatan akses permodalan di kawasan sentra produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional. Selain itu, penggalakkan ekspor juga diperlukan dalam upaya meningkatkan devisa dari komoditi ini. Sementara untuk mendorong peningkatan daya saing diperlukan pembenahan secara komprehensif berbagai segmen pengembangan usaha, termasuk segmen produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran bahkan regulasi perdagangan internasional dan tarif penerbangan internasional.

Sumber : Sinar Tani
Read On 3 comments

Tanaman Hias Menjanjikan Masa Depan Gemilang

Thursday, June 12, 2008

Tanaman hias kini cukup diminati masyarakat untuk dipelihara. Umumnya yang populer di masyarakat berkisar antara tanaman jenis anggrek dan bunga-bungaan lainnya. Selain lebih membutuhkan ruangan yang sedikit, pemeliharaannya pun relatif mudah. Bahkan, jika benar-benar serius digarap sebenarnya tanaman hias ini dapat dijadikan satu cara untuk melindungi flora asli Indonesia dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan di masa mendatang. Selain itu, tanaman hias secara eknomi sangat menjanjikan masa depan gemilang.
Kekayaan flora Indonesia yang begitu melimpah sebenarnya tidak melulu mesti hidup dan berkembang di hutan-hutan lebat. Beberapa sudah ada yang dikembangkan dalam bentuk tanaman hias sehingga banyak masyarakat yang menaruh minat untuk memeliharanya. Namun, dibandingkan dari banyaknya jenis dan jumlah flora yang terdapat di Indonesia masih diperlukan sentuhan tangan-tangan ahli dan terampil untuk menyulapnya menjadi komoditas andalan bangsa.
Seperti telah diketahui bersama Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati. Sebagian dari kekayaan flora yang melimpah tersebut berpotensi sebagai tanaman hias. Dengan berbagai ragam keindahan dan keunikan, flora Indonesia mempunyai peluang untuk diberdayakan sebagai komoditas komersial yang penting dan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan petani tanaman hias dan devisa negara.
Hasil eksplorasi yang dilakukan berbagai pihak memberikan informasi bahwa beberapa jenis plasma nutfah yang dikoleksi mempunyai potensi untuk dijadikan tanaman hias. Beberapa suku dan marga tumbuhan asal hutan belantara Indonesia juga cukup indah sebagai tanaman hias pot dan sebagian telah dibudidayakan, namun belum dikembangkan lebih lanjut.
Penelitian plasma nutfah dalam beberapa tahun terakhir, telah berhasil mengumpulkan berbagai spesies atau kultivar yang sebagian telah dikarakterisasi. Jenis-jenis tersebut antara lain spesies atau kultivar dari famili Orchidaceae, Zingiberaceae, Araceae, Euphorbiaceae, Palmae, dan Oleaceae. Jenis-jenis tanaman hias asli Indonesia yang berpotensi nilai ekonomi tinggi cukup banyak, antara lain hasil-hasil silangan terseleksi pada anggrek dan Aglonema. Banyak spesies atau kultivar dari famili Zingiberaceae, Araceae, Orchidaceae, Palmae, Polypodiaceae, dan Pandanaceae mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Pemberdayaan dan pemanfaatan serta pengembangan jenis tanaman hias terkoleksi perlu mempertimbangkan faktor internal dan eksternal terutama akses pasarnya. Kendala dalam agrobisnis tanaman hias antara lain adalah preferensi konsumen yang relatif cepat berubah. Oleh karena itu, terhadap tanaman hias terkoleksi perlu dipelajari dan diteliti potensi fungsi dan kegunaannya baik sebagai bunga potong, tanaman hias pot atau taman, ataupun sebagai daun potong dengan kriteria menurut selera pasar.
Sistem usaha tani tanaman hias yang dilakukan petani dan pengusaha berbeda-beda. Pada umumnya sering dilakukan jual-beli bibit atau tanaman dengan ukuran siap jual dari daerah sekitarnya atau dari pusat-pusat produsen dan perdagangan tanaman hias. Petani pengusaha setelah membeli tanaman hias tertentu kemudian memeliharanya sebelum dijual kepada konsumen. Pemeliharaan bersifat sementara untuk menghindari risiko yang mungkin terjadi. Tanaman akan dilepas jika harga yang ditawarkan konsumen memberikan sedikit keuntungan. Dengan prinsip seperti itu, volume penjualan dapat meningkat, terutama untuk jenis-jenis tanaman hias taman.

Tak Ada Harga Standar
Tidak ada harga standar dalam perdagangan tanaman hias. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pedagang dan pengusaha tanaman hias dalam menentukan nilai jual adalah frekuensi pembelian, jumlah pembelian dan subjektivitas pedagang terhadap status pembeli. Selain itu, harga dipengaruhi juga oleh jenis dan varietas, ukuran tanaman, umur tanaman, tingkat laju pertumbuhan, keindahan dan keunikan tanaman/bunga.
Selain itu, dasar pertimbangan lain adalah lamanya tanaman beredar di masyarakat, kelangkaan tanaman, kesehatan tanaman, dan lokasi penjualan, pengaruh hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal, Tahun Baru dan upacara adat, potensi pasar domestik dan luar negeri, serta kondisi perekonomian dan pembangunan secara global.
Permintaan jenis tanaman hias tidak menentu, sehingga ada kecenderungan petani pengusaha memiliki berbagai jenis tanaman. Kondisi demikian menyebabkan kurang terurusnya kesehatan tanaman karena setiap jenis tanaman memerlukan kondisi pemeliharaan yang berbeda. Masalah lain adalah adanya petani pengusaha tanaman hias yang bermodal cukup melakukan perbanyakan tanaman hias yang sedang trendy. Hal ini mengakibatkan volume tanaman di pasaran relatif banyak sehingga harga menurun dengan cepat serta menimbulkan kerugian bagi petani dan pengusaha kecil.
Untuk ekspor, masalah di pasar internasional adalah permintaan tanaman hias tertentu dalam volume yang cukup banyak dengan kualitas seragam dan dalam waktu relatif singkat. Permintaan biasanya hanya untuk beberapa kali pengiriman sehingga tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha, karena kesulitan dalam sistem produksi. Misalnya permintaan tanaman kedondong laut, hanjuang, dan suji pachira oleh Korea, Jepang, Taiwan, Singapura, dan Amerika. Permintaan umumnya melalui perantara luar negeri atau bekerja sama dengan petani pengusaha tanaman hias dalam negeri. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat, sehingga menurunkan harga produk sampai di bawah biaya produksi, seperti yang terjadi pada produk ornamen suji di daerah Selabintana, Sukabumi pada 2-3 tahun terkahir ini.
Perkembangan usaha tanaman hias sangat terkait dengan kondisi perekonomian, terutama pembangunan pemukiman, gedung-gedung perkantoran, serta sektor pariwisata. Pusat informasi agrobisnis tanaman hias juga besar perannya sebagai acuan untuk perencanaan sistem produksi. Program aksi yang nyata antara pengusaha dan instansi pemerintah terkait untuk membicarakan dan merumuskan trend tanaman hias untuk beberapa tahun ke depan juga dapat memacu agrobisnis tanaman hias.
Untuk mengantisipasi kejenuhan jenis tanaman hias yang beredar di masyarakat dan untuk menambah keragaman tanaman hias, telah terpilih lima jenis tanaman hias tropis yang berpotensi sebagai bunga potong, yaitu Tapeinochilos anannasae, Calathea erotalivera, Costu "Eskimo Kiss", Costus sp. (braktea coklat kemerahan), dan Zingiber spectabile. Penciptaan jenis/variasi baru dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman, baik dengan teknik hibridisasi maupun mutasi.

Perdagangan Tanaman Hias
Tanaman hias merupakan salah satu potensi dan daya tarik bagi wilayah sekitar hutan kota, hal ini mengingat bahwa usaha dibidang tanaman hias merupakan salah satu mata pencaharian bagi sebagian masyarakat setempat. Berbagai macam tanaman hias seperti bonsai (berbagai spesies tumbuhan langka), anggrek, tanaman buah dan tanaman hias lain dengan berbagai macam bentuk dapat diperoleh disekitar hutan kota maupun di dalam hutan kota yang dikelola oleh Koperasi yang didirikan masyarakat sekitar dengan harga yang dapat dijangkau oleh pengunjung. Keanekaragaman tanaman hias yang dipasarkan tersebut secara nyata telah berdampak hadirnya suasana lingkungan yang semakin memiliki nilai keindahan yang unik dan menarik bagi para pengunjung yang berkunjung ke Hutan Kota Srengseng.
Krisis 1998 meyebabkan pasar tanaman hias mengalami kelesuan. Daya beli masyarakat melemah, sektor properti yang menjadi konsumen penting mengalami kebuntuan.
Berkembangnya usaha anggrek dalam negeri akan mampu meningkatkan pendapatan petani, memenuhi tuntutan keindahan lingkungan, menunjang pembangunan industri pariwisata, membuat komplek perumahan, perhotelan dan perkantoran bertambah asri. Pembangunan industri tanaman hias diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja, menambah devisa dan membuka peluang tumbuhnya industri sarana produksi, produk sekunder dan jasa transportasi
Namun, perlahan-lahan pasca krisis 1998, pasar tanaman hias menggeliat kembali. Bahkan beberapa tahun belakangan ini beberapa komoditas mengalami peningkatan signifikan. Selain anggrek, ada adenium, euphorbia, aglaonema dan anthurium. Gejala ini bisa dilihat di pameran-pameran flora yang diselenggarakan di Jakarta. Hampir di setiap stan tanaman hias menjadikan salah satu dari 5 tanaman itu sebagai main display.
Selain mengebunkan sendiri, tanaman hias itu diperoleh dari luar Jakarta dan luar negeri seperti Thailand dan Taiwan. Sesampainya disini, tanaman diperbanyak, disilangkan sehingga muncul berbagai variasi menarik.
Pasar tanaman hias di Indonesia terbagi menjadi 4 : tanaman indoor seperti aglaonema, tanaman hias untuk taman seperti palem, tanaman untuk rangkaian bunga seperti bunga potong dan tanaman outdoor lainya seperti bonsai dan kaktus. Konsumen bunga potong umumnya industri pernikahan, sedangkan tanaman hias berputar di industri properti (perumahan, perhotelan) serta hobiis dan kolektor.
Dari segi selera pasar, tanaman hias outdoor berharga lebih murah sehingga volume perdagangan lebih besar. Tanaman indoor volume lebih kecil, karena harganya lebih tinggi. Namun, tanaman indoor punya beberapa kelebihan. Jenis ini lebih tahan dipelihara, variasi lebih beragam serta berumur panjang sehingga sesungguhnya konsumen lebih berhemat. Saat ini tren masyarakat mengarah kebentuk tanaman hias kecil dan mudah dipindahkan. Adenium, euphorbia, dan aglaonema memenuhi syarat-syarat ini. Selain itu ada pola kelaziman, bahwa memasuki bulan–bulan perayaan tahun baru, natalan, lebaran, atau 17 Agustusan bisnis tanaman hias kembali marak.
Tanaman hias memiliki kisaran harga yang beragam. Mulai dari euporbia seharga Rp.15.000 hingga sepot aglaonema berharga ratusan juta. Segmen paling marak ada ditanaman kelas menengah, tanaman jenis ini memiliki harga antara Rp 15.000 - Rp 250.000. Penentuan harga ditentukan oleh tren yang berkembang. Semakin bersifat massal, harga akan semakin turun.
Secara global pasar tanaman hias terbagi 2, lokal dan luar negeri. Untuk pasar lokal, tanaman hias asal jakarta sudah merambah hingga daerah-daerah lain ; Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk pasar ekspor, komoditas plumeria dan sanseviera bisa merambah hingga Cina dan Jepang. Ke depannya potensi pasar tanaman hias masih sangat besar. Data dari Asosiasi Pengusaha dan Petani Flora Indonesia (ASPENI) menyebutkan Indonesia baru bisa meraih 1,5% dari total permintaan pasar Eropa yang berkisar US$ 60 milyar per tahun;  Malaysia dan Cina masing-masing 11% dan 60 %.
Selain penjualan, bisnis tanaman hias juga diramaikan dengan usaha penyewaan tanaman/rental. Konsumen yang disasar hotel, kantor, rumah sakit, restoran hingga pusat perbelanjaan. Satu tahun ini, bisnis rental memang agak lesu, imbas kenaikan BBM. Dapat dipahami, usaha ini berhubungan erat dengan urusan transportasi, sehingga urusan BBM sangat vital. Namun di luar hal itu, pasar masih terbuka lebar. Nyaris tidak ada gedung perkantoran yang tidak dihiasi tanaman hidup. Bahkan kini, pengusaha rental juga menyasar event dekorari seminar, pameran, dan perkawinan. Sistem penyewaan dilakukan dalam jangka waktu 1 minggu sampai dengan 1 bulan. Jenis yang disewakan paling banyak palem. Tarif rata-ratanya Rp 30.000 - Rp 100.000 per bulan per pohon, tergantung jenis dan ukuran.
Read On 0 comments

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: ANGGREK

Thursday, June 12, 2008


Produktivitas anggrek pada tahun 1989 adalah 2,39 tangkai/per tanaman dan tahun 2000 meningkat menjadi 3,43 tangkai per tanaman. Dibandingkan dengan produktivitas anggrek dari negara tetangga Thailand, rata-rata 10 – 12 tangkai/per tanaman, produktivitas nasional rata-rata hanya dapat mencapai 3 – 4 tangkai per tanaman. Bila potensi genetik anggrek dapat dicapai, maka peningkatan produksi secara perhitungan dapat mencapai 2-3 kali lipat produksi yang dicapai saat ini. Proyeksi produksi tahun 2010, produktivitas anggrek diharapkan mencapai 8-10 tangkai pertanaman.
Anggrek dapat dipasarkan dalam bentuk compot (Community Pot), tanaman individu/tanaman remaja, tanaman dewasa dan bunga potong. Pertanaman anggrek dapat dilakukan melalui tahapan (1) Protocorm like bodies sampai menjadi plantlet siap keluar dari botol waktu yang dibutuhkan ± 1 tahun, (2) Compot plantlet menjadiseedling dalam bentuk compot diperlukan waktu ± 6 bulan, (3) compot menjadiseedling dalam bentuk individu dibutuhkan waktu ± 6 bulan, (4) seedling individu menjadi tanaman remaja dibutuhkan waktu ± 6 bulan, dan (5) tanaman remaja menjadi dewasa dan siap berbunga ± 6 bulan.
 
Analisa usahatani untuk luasan 1000 m2, besar biaya untuk usaha compot setelah ditambahkan dengan bunga modal adalah sebesar Rp. 137,9 juta, untuk usaha tanaman individu/remaja sebesar Rp 84,5 juta, untuk usaha tanaman dewasa sebesar Rp 163,1 juta dan untuk industri bunga potong sebesar Rp 162,8 juta. Pada jenis usaha primer, bila dilihat dari sisi penerimaan, didapatkan produk anggrek dalam bentuk tanaman dewasa ádalah yang terbesar yaitu sekitar Rp 216 juta, kemudian diikuti oleh compot (Rp 194,4 juta), bunga potong (Rp 180,1 juta) dan tanaman individu/tanaman remaja (Rp 129,7 juta). R/C ratio yang didapatkan usaha tanaman individu dan remaja lebih menguntungkan dibandingkan produk lainnya, yang ditunjukkan oleh R/C ratio sebesar 1,53. R/C ratio sebesar 1,53 artinya setiap Rp 1,- yang dikeluarkan untuk pengusahaan anggrek dalam bentuk tanaman individu/remaja diperoleh keuntungan sebesar Rp 1,53,-.
Selera konsumen terhadap mutu bunga potong anggrek dipengaruhi dan ditentukan oleh produsen dan trend luar negeri. Pada saat ini anggrek yang dominan disukai masyarakat adalah jenis Dendrobium (34 %), diikuti oleh Oncidium Golden Shower (26 %), Cattleya(20 %) dan Vanda (17 %) serta anggrek lainnya (3 %). Pemilihan warna bunga anggrek yang dikonsumsi banyak dipengaruhi oleh maksud penggunaannya. Pada hari Natal warna bunga yang disukai didominasi oleh warna putih; pada hari Imlek disukai warna merah, pink dan ungu; untuk keperluan ulang tahun banyak digunakan warna lembut, seperti putih, pink, ungu, sedangkan untuk menyatakan belasungkawa umumnya digunakan warna kuning dan ungu.
Konsumen pasar dalam negeri adalah penggemar dan pecinta anggrek, pedagang keliling, pedagang pada kios di tempat-tempat tertentu dalam kota, perhotelan, perkantoran, gedung-gedung pertemuan, pengusaha pertamanan, toko bunga, florist, pesta-pesta dan perkawinan. Jenis-jenis anggrek yang banyak diminta pasar adalah Vanda DouglasDendrobium dan Golden Shower. Permintaan anggrek dalam negeri, selain dipenuhi oleh produksi dalam negeri juga dari produk impor untuk jenis-jenis tertentu, sepertiPhalaenopsis, dan Dendrobium.
Berdasarkan arahan Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat ditentukan areal pertumbuhan komoditas anggrek di Sumatera Utara 20 ha, DKI Jakarta 51,8 ha, Jawa Barat 60 ha, Jawa Timur 100 ha, Kalimantan Timur 51,7 ha, Sulawesi Selatan 3,6 ha, dan Papua 99,4 ha. Anggrek dapat ditanam dalam kondisi lahan apapun, karena anggrek tidak memerlukan media tumbuh tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha anggrek terutama adalah kualitas dan pH air. Dalam pengembangan anggrek, berbagai tahapan strategis dilakukan mulai dari penyusunan paket teknologi dan SOP, GAP, standarisasi; sosialisasi dan bimbingan SOP dan GAP; bimbingan manajemen mutu dan pasca panen; pengembangan kawasan sentra; kelembagaan usaha dan kemitraan; peningkatan SDM sampai regulasi investasi dan promosi.
Pada perdagangan internasional sebenarnya tidak ada aturan baku mengenai standar mutu, standar mutu lebih tergantung pada importir dari negara tujuan ekspor. Negara-negara tujuan ekspor memberikan syarat harus bebas dari OPT baik berupa hama, penyakit, maupun gulma. Importir menghendaki standar mutu/grade tertentu yang lebih dikaitkan dengan harga.
Sasaran periode tahun 2005 – 2010 adalah (1) tersedianya produk anggrek sebanyak 75.192.000 tangkai dan 16.166.628 pot pada tahun 2005 menjadi 89.692.000 tangkai dan 19.284.219 pot tahun 2010 sesuai standar mutu pasar domestik dan internasional (2) tersedianya sentra anggrek 187.98 ha pada tahun 2005 menjadi 224.23 ha pada tahun 2010.
Program pengembangan tanaman anggrek adalah (1) penyediaan varietas unggulan spesifik lokasi dibarengi dengan perbanyakan benih secara mericlonal untuk mendapatkan tanaman seragam, (2) penerapan SOP berbasis GAP, (3) Pengembangan kawasan sentra produksi berbasis pasar dan potensi daerah, (4) peningkatan kualitas SDM, (5) pengembangan kelembagaan on farm dan off farmdalam pola koperasi, korporasi manajemen dan konsorsium, (6) pengembangan jejaring dan jaringan kerja di dalam dan luar negeri, (7) Pengembangan sistem informasi, (8) Penataan data base dan penyusunan profil tanaman anggrek, (9) Promosi peluang usaha agribisnis anggrek.
Industri hulu perbenihan dilakukan hanya di pusat agribisnis anggrek DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawasi Selatan. Produk industri anggrek adalah bunga segar, industri hilir kurang berkembang, packing untuk ekspor hingga saat ini masih dilakukan oleh eksportir. Industri yang dikembangkan adalah anggrek bunga potong dan tanaman pot berbunga. Industri anggrek di Indonesia mempunyai berbagai skala usaha yaitu (1) UKM anggrek potong dengan skala usaha 1000 – 2500 m2 dan diperkirakan dapat menghasilkan 10.000 – 25.000 tangkai bunga; (2) usaha anggrek potong skala besar, dengan skala usaha 3000 m2 hingga lebih dari 1 ha, yang dapat menghasilkan bunga antara 30.000 sampai 100.000 tangkai; (3) usaha tanaman pot berbunga kecil menengah, dengan skala usaha 1000 – 25000 m2.
Dalam pengembangan industri anggrek dibutuhkan investasi pemerintah dan swasta. Investasi pemerintah dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur, pembinaan, penelitian dan pengembangan. Untuk kurun waktu 5 tahun (2005 – 2010) diperkirakan kebutuhan dana sebesar Rp. 30 milyar untuk infrastruktur, Rp. 60 milyar untuk pembinaan dan Rp. 60 milyar untuk R & D. Sedangkan investasi yang dibutuhkan untuk industri swasta besar adalah Rp. 397,233 milyar. Laboratorium perbenihan membutuhkan investasi Rp. 7,56 milyar, usaha ini dilakukan oleh pemerintah atau usaha swasta besar.
Sasaran pengembangan diutamakan untuk peningkatan ekspor, sehingga diperlukan investasi besar dari swasta. Pengembangan ditingkat petani/komunitas dibutuhkan investasi sebesar Rp. 1,487 milyar untuk bunga potong dan Rp. 12,456 milyar untuk bunga pot. Bunga pot lebih banyak dikembangkan ditingkat petani/komunitas dengan skala UKM. Dengan pengembangan tersebut, diperkirakan terdapat pertambahan nilai Rp. 960 juta per ha yang diperoleh dari pertambahan nilai ekspor anggrek.
Dalam upaya menarik investasi dan pengembangan anggrek, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan, antara lain: kemudahan perijinan termasuk CITES, keringanan pajak, kemudahan cargo dan transportasi udara, penyediaan pendingin di bandara, kemudahan ekspor, pembebasan bea masuk untuk alat dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pengembangan agribisnis anggrek dan membangun sistem kemitraan.

Read On 0 comments

Budidaya Krisan Bunga Potong

Thursday, June 12, 2008

I. Pendahuluan
Krisan atau dikenal juga dengan sebutan bunga seruni, merupakan tanaman hias yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan potensial untuk dikembangkan secara komersial. Di Indonesia, krisan biasa dibudidayakan di dataran medium dan dataran tinggi. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia Timur tepatnya daratan Cina. Belum ditemukan data atau informasi yang pasti tentang kapan tanaman krisan masuk ke wilayah Indonesia. Namun, beberapa literatur menunjukkan sekitar tahun 1800 krisan mulai ditanam di Indonesia dan sejak tahun 1940, krisan mulai dibudidayakan secara komersial sebagai tanaman hias. Beberapa daerah sentra produksi tanaman hias krisan di antaranya adalah Cipanas (Cianjur), Sukabumi, Lembang (Bandung), Bandungan (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), dan Berastagi (Sumatera Utara). Pada saat ini krisan telah dibudidayakan di daerah-daerah lain, seperti NTB, Bali Sulawesi Utara dan Sumatera Selatan.

Pada perdagangan internasional tanaman hias, krisan merupakan komoditas bunga potong andalan yang penting. Pada tahun 2003, perdagangan komoditas ini di Indonesia mengalami surplus sekitar US $ satu juta. Ekspor komoditas non anggrek ini ke negara-negera tujuan seperti Hongkong, Jepang, Singapura dan Malaysia pun mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dan proyeksi ekspor pada tahun 2007 diperkirakan mencapai sekitar US $ 15 juta (BPS, 2005). Sekalipun demikian, hingga saat ini pasokan krisan belum mencukupi kebutuhan permintaan dunia. Negara-negara penghasil utama krisan seperti Jepang dan Belanda hanya mensuplai kurang dari 60% dan kontribusi negara-negara penghasil krisan di Asia Tenggara seperti Indonesia hanya sekitar 10 % dari total permintaan dunia. Dengan demikian, peluang bisnis bunga krisan masih sangat menjanjikan. Peningkatan ekspor bunga krisan dengan mutu yang memadai ke pasaran internasional masih sangat terbuka lebar.

Kualitas dan mutu bunga adalah faktor yang sangat mempengaruhi harga jual bunga potong krisan. Banyak kasus menunjukkan bahwa bunga potong krisan yang dihasilkan oleh petani tradisional di Indonesia bermutu rendah. Hal ini berdampak terhadap harga jual bunga yang rendah dan tidak dapat menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan. Akibatnya, usahatani krisan menjadi tidak ekonomis dan kurang menguntungkan, sehingga banyak petani krisan mengalihkan usahanya pada bidang lain. Oleh karena itu, peningkatan produksi harus disertai dengan perbaikan teknologi budidaya untuk meningkatkan kualitas produksi hingga akhirnya diharapkan terjadi peningkatan harga jual produk. Perbaikan teknik budidaya ini dilakukan dengan menerapkan teknologi budidaya anjuran spesifik lokasi dan komponen-komponen lain dalam budidaya secara terpadu. Beberapa aspek budidaya tanaman krisan bunga potong akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya beserta hal-hal yang melatar belakanginya.

Sumber : Budiarto, K.,Y. Sulyo, Ruud Maaswinkel dan S. Wuryaningsih. 2006. Budidaya krisan bunga ppotong: Prosedur sistem produksi.Jakarta. Puslitbanghorti. 60 hal. ISBN : 979-8842-20-0


Read On 0 comments

PERKEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA1)

Wednesday, June 11, 2008
Pertanian organik saat ini telah berkembang secara luas, baik dari sisi budidaya, sarana produksi, jenis produk, pemasaran, pengetahuan konsumen dan organisasi/lembaga masyarakat yang menaruh minat (concern) pada pertanian organik. Perkembangan ini memang tidak terorganisir dan berkesan berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian bila dicermati ada kesamaan tujuan yang ingin dicapai oleh para pelaku pertanian organik yaitu: menyediakan produk yang sehat, aman dan ramah lingkungan.

Untuk memajukan pertanian organik, diperlukan perencanaan dan implementasi yang baik secara bersamaan. Perencanaan dan implementasi juga dilakukan secara bersama antara pemerintah dan pelaku usaha. Sinergisme aktivitas dan pelaku usaha dapat mempercepat pencapaian tujuan dari “Go Organik 2010” yaitu ‘Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia’. Tulisan ini akan memaparkan perkembangan kebijakan dan pelaksanaan pertanian organik di Indonesia hingga tahun 2005 berdasarkan data, literatur dan kajian yang ada.

Kebijakan pemerintah ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Departemen Pertanian telah mencanangkan pertanian organik dengan slogan ‘Go Organik 2010’. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010. Tahapan tersebut adalah:
■ Tahun 2001 difokuskan pada kegiatan sosialisasi
■ Tahun 2002 difokuskan pada kegiatan sosialisasi dan pembentukan regulasi
■ Tahun 2003 difokuskan pada pembentukan regulasi dan bantuan teknis
■ Tahun 2004 difokuskan pada kegiatan bantuan teknis dan sertifikasi
■ Tahun 2005 difokuskan pada sertifikasi dan promosi pasar
■ Tahun 2006 – 2010 terbentuk kondisi industrialisasi dan perdagangan

Tahapan diatas disusun dengan mempertimbangkan akan terciptanya kondisi yang kondusif dan konsistensi Departemen Pertanian dalam menjalankan programnya. Kondusif dan konsisten merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai perjalanan dari program yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Bila kita cermati, tahapan sosialisasi pertanian organik telah dijalankan dengan baik dan tersebar secara luas di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari tingginya respon masyarakat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pertanian organik. Disamping itu masyarakat tertarik untuk melakukan budidaya pada lahan yang baru atau merubah budidayanya dari konvensional menjadi organik.

Sosialisasi dilakukan oleh segenap elemen pembangunan pertanian, mulai dari Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Departemen dan Kementerian lainnya, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi, Kelompok Tani dan media massa. Sosialisasi yang dilakukan masih banyak membahas mengenai “bagaimana budidaya pertanian organik dilakukan?” dan “apakah pertanian organik memiliki prospek yang baik bila dikembangkan?”.

Pada awal perkembangan pertanian organik, belum banyak data dan informasi ilmiah yang dapat disampaikan kepada masyarakat mengenai permasalahan yang berkembang. Namun inilah momentum yang sangat baik bagi perkembangan pertanian organik selanjutnya. Minimnya data dan informasi tentang pertanian organik mendorong segenap elemen pembangunan pertanian untuk mendalami, meneliti dan mencari lebih jauh tentang segala hal yang terkait dengan pertanian organik.
                                              
Gambar.
Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada Go Organik 2010
Sumber: Departemen Pertanian, 2005

Animo yang besar dari masyarakat menganai pertanian organik tentunya harus diimbangi dengan regulasi atau pengaturan yang jelas dari pemerintah. Hal ini penting karena dimasyarakat pada periode tahun 2002 telah muncul banyak pendapat dan pemahaman yang berbeda mengenai pertanian organik.

Departemen Pertanian pada tahun 2002, membuat aturan dasar bagi pelaksanaan pertanian organik di Indonesia yang disahkan dalam bentuk SNI Sistim Pangan Organik. Terbitnya SNI tersebut, pada satu sisi disambut dengan gembira karena dapat dijadikan acuan bagi pelaku pertanian organik dan pada sisi lainnya menimbulkan pertanyaan “apakah aturan tersebut dapat dilaksanakan?”. Pertanyaan ini menjadi wajar bila kita melihat isi dari SNI yang mengatur sangat ketat aspek budidaya hingga pemasaran. Pelaku pertanian organik yang baru memulai aktivitasnya merasa belum mampu untuk mengikuti dan mentaati keseluruhan aturan yang termuat dalam SNI tersebut.

Setelah munculnya SNI Sistim Pangan Organik pemahaman dan pelaksanaan pertanian organik oleh para pelaku tetap terjadi perbedaan. Beberapa contoh perbedaan pemahaman adalah:
- “seorang petani menyatakan bahwa produknya organik hanya karena telah memakai pupuk organik”
- “petani lainnya menyatakan bahwa produknya organik karena telah memakai pupuk serta pestisida organik dan hanya memakai sedikit pupuk/pestisida kimia”
Contoh diatas adalah gambaran yang sangat sederhana dan mendasar tentang banyaknya pemahaman dan pelaksanaan pertanian organik yang berbeda-beda di lapangan.

Dengan kondisi ini maka bimbingan teknis, pendampingan dan sertifikasi menjadi hal yang harus segera dilakukan untuk menghindari pemahaman yang salah terhadap aturan yang ada dan untuk melindungi konsumen yang membeli produk yang dinyatakan organik. Pemerintah dengan dana, SDM dan jangkauan yang terbatas mulai tahun 2003 melakukan beberapa bimbingan teknis, demplot dan pendampingan pada pelaku usaha budidaya pertanian organik. Kegiatan ini juga banyak dilakukan oleh pemerintah daerah yang melihat bahwa daerahnya berpotensi bagi pengembangan pertanian organik.

Sertifikasi menjadi bahasan hangat pada pertengahan tahun 2003 hingga saat ini. Hal ini karena di Indonesia belum ada lembaga sertifikasi produk organik, padahal pelaku, jenis komoditas, lokasi dan perdagangan pangan organik telah berkembang. Kekuatan setifikasi adalah terjaminnya suatu produk karena telah memenuhi seluruh kaidah yang disyaratkan. Keuntungan yang didapatkan ada pada pihak produsen dan konsumen. Produsen memiliki posisi tawar yang lebih baik pada barang yang diproduksinya sedangkan konsumen memiliki kepastian/jaminan terhadap barang/produk yang dikonsumsi.

Nampaknya hingga saat ini, sertifikasi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Sehingga pernyataan (claim) mengenai produk organik harus disampaikan langsung oleh pelaku pertanian organik pada konsumennya. Pada kegiatan promosi, pameran, negosiasi dan penjualan, pelaku pertanian organik harus terus-menerus menyampaikan/menginformasikan bahwa produk yang dihasilkan adalah produk organik. Dalam hal ini produsen yang harus berbicara dan bukan produknya yang berbicara.

Pekerjaan rumah lainnya bagi segenap elemen pertanian organik adalah promosi pasar, industrialisasi dan perdagangan. Tiga hal ini adalah pekerjaan berat lainnya yang belum banyak disentuh dan dikembangkan sehingga diperlukan kerja keras untuk menyelesaikan permasalahan yang melingkupi ketiganya. Promosi pasar memerlukan dukungan produsen dan media untuk menyebarluaskan tentang produk, kualitas, harga dan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh produk organik. Industrialisasi dan perdagangan memerlukan dukungan para pelaku budidaya, pengusaha, perbankan dan pemerintah untuk membangun industri dan perdagangan pangan organik.

Tentunya kita ingin bahwa cita-cita Go Organik 2010 yaitu ‘Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia’ dapat tercapai, dan bukan sebaliknya yaitu Indonesia menjadi pasar produk organik dari luar negeri. Semoga. (Dede Sulaeman)
1) Makalah disampaikan pada Munas Asosiasi Produsen Organik Indonesia (APOI) tanggal 29 September 2006 di Jakarta
2) Penulis adalah Staf Ditjen PPHP Deptan dan Peserta Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Read On 0 comments

TEKNOLOGI BUDIDAYA ORGANIK

Wednesday, June 11, 2008
PENDAHULUAN
Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat utamanya masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, dan lain-lain, yang disebabkan pola makan. Banyak sekali bahan makanan yang diolah dengan berbagai tambahan bahan kimia. Disamping itu budaya petani yang menggunakan pestisida kimia   dengan frekuensi dan dosis berlebih akan menghasilkan pangan yang meracuni tubuh konsumen.  Adanya logam-logam berat yang terkandung di dalam pestisida kimia  akan masuk ke dalam aliran darah. Bahkan makan sayur yang dulu selalu dianggap menyehatkan, kini juga harus diwaspadai karena sayuran banyak disemprot pestisida kimia berlebih.
Pada saat ini satu dari empat orang Amerika mengkonsumsi produk organik. Di negara itu, laju pertumbuhan produk organik sangat luar biasa, yakni lebih dari 20 % setiap tahunnya dalam sepuluh tahun terakhir ini, dan hal tersebut membuat pertanian organik tumbuh sangat cepat dalam mengisi sektor ekonomi (Wood, Chaves dan Comis, 2002). Dalam era globalisasi, pasar sayuran organik sangat terbuka dan saat ini Australia telah mengambil peluang ini dengan mengekspor sayuran organik ke pasar Amerika, beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan Perancis, Jepang, juga ke beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singpura (McCoy, 2001). Keadaan ini juga dicermti negara Asia seperti Thailand yang sejak tahun 1995 telah mengeluarkan standarisasi dan sertifikasi tentang produk organik (ACT, 2001).

Peluang Indonesia menjadi produsen pangan organik dunia, cukup besar. Disamping memiliki 20% lahan pertanian tropic, plasma nutfah yang sangat beragam, ketersediaan bahan organik juga cukup banyak. Namun menurut IFOAM (International Federation of Organic Agricultural Movement) Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menghantarkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik terkemuka
Indonesia yang beriklim tropis, merupakan modal SDA yang luar biasa dimana aneka sayuran, buah dan tanaman pangan hingga aneka bunga dapat dibudidayakan sepanjang tahun. Survey BPS (2000) menunjukkan produksi sayuran di Indonesia, diantaranya bawang merah, kubis, sawi, wortel dan kentang berturut-turut 772.818, 1.336.410, 484.615, 326.693 dan 977.349 ton pada total area seluas 291.192 Ha. Selanjutnya survey yang dilakukan oleh Direktorat Tanaman Sayuran, Hias dan Aneka Tanaman menunjukkan bahwa kebutuhan berbagai sayuran di 8 pasar swalayan di Jakarta sekitar 766 ton per bulan, dimana sekitar 5 % adalah sayuran impor (Rizky, 2002).


SISTEM PERTANIAN ORGANIK
Sejak tahun 1990, isu pertanian organik mulai berhembus keras di dunia.  Sejak saat itu mulai bermunculan berbagai organisasi dan perusahaan yang memproduksi produk organik.  Di Indonesia dideklarasikan Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) pada tgl 1 Februari  2000 di Malang.  Di Indonesia telah beredar produk pertanian organik dari produksi lokal seperti beras organik, kopi organik, teh organik dan beberapa produk lainnya.  Demikian juga ada produk sayuran bebas pestisida seperti yang diproduksi oleh Kebun Percobaan Cangar FP Unibraw Malang.  Walaupun demikian, produk organik yang beredar di pasar Indonesia sangat terbatas baik jumlah maupun ragamnya.
Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Dilarangnya penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian organik merupakan salah satu kendala yang cukup berat bagi petani, selain mengubah budaya yang sudah berkembang 35 tahun terakhir ini pertanian organik membuat produksi menurun jika perlakuannya kurang tepat. 
Di sisi lain, petani telah terbiasa mengandalkan pupuk anorganik (Urea, TSP, KCl dll) dan pestisida sintetik sebagai budaya bertani sejak 35 tahun terakhir ini. Apalagi penggunaan pestisida, fungisida pada petani sudah merupakan hal yang sangat akrab dengan petani kita.  Itulah yang digunakan untuk mengendalikan serangan sekitar 10.000 spesies serangga yang berpotensi sebagai hama tanaman dan sekitar 14.000 spesies jamur yang berpotensi sebagai penyebab penyakit dari berbagai tanaman budidaya.
Alasan petani memilih pestisida sintetik untuk mengendaliakan OPT di lahannya a.l. karena aplikasinya mudah, efektif dalam mengendalikan OPT, dan banyak tersedia di pasar.  Bahkan selama enam dekade ini, pestisida telah dianggap sebagai penyelamat produksi tanaman selain kemajuan dalam bidang pemuliaan tanaman. Pestisida yang beredar di pasaran Indonesia umumnya adalah pestisida sintetik.
Sistem Pertanian Organik adalah sistem produksi holistic dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan (Deptan 2002).
Sebenarnya, petani kita di masa lampau sudah menerapkan sistem pertanian organik dengan cara melakukan daur ulang limbah organik sisa hasil panen sebagai pupuk. Namun dengan diterapkannya kebijakan sistem pertanian kimiawa yang berkembang pesat sejak dicanangkannya kebijakan sistem pertanian kimiawi yang berkembang yang berkembang pesat sejak dicanangkannya Gerakan Revolusi Hijau pada tahu 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, walaupun untuk sementara waktu dapat meningkatkan produksi pertanian, pada kenyataannya dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, yang akhirnya bermuara kepada semakin luasnya lahan kritis dan marginal di Indonesia.
Sistem pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama diterap kan di beberapa negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Amerika Serikat (Koshino, 1993). Pengembangan pertanian organik di beberapa negara tersebut mengalami kemajuan yang pesat disebabkan oleh kenyataan bahwa hasil pertanian terutama sayur dan buah segar yang ditanam dengan pertanian sistem organik (organic farming system) mempunyai rasa, warna, aroma dan tekstur yang lebih baik daripada yang menggunakan pertanian anorganik (Park 1993 dalam Prihandarini, 1997).
Selama ini limbah organik yang berupa sisa tanaman (jerami, tebon, dan sisa hasil panen lainnya) tidak dikembalikan lagi ke lahan tetapi dianjurkan untuk dibakar (agar praktis) sehingga terjadi pemangkasan siklus hara dalam ekosistem pertanian. Bahan sisa hasil panen ataupun limbah organik lainnya harus dimanfaatkan atau dikembalikan lagi ke lahan pertanian agar lahan pertanian kita dapat lestari berproduksi sehingga sistem pertanian berkelanjutan dapat terwujud.

TEKNIK BUDIDAYA ORGANIK
Teknik Budidaya merupakan bagian dari kegiatan  agribisnis harus berorientasi pada permintaan pasar. Paradigma agribisnis :bukan Bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan, tapi Bagaimana menghasilkan produk yang dapat dipasarkan. Terkait dengan itu, teknik budidaya harus mempunyai daya saing dan teknologi yang unggul. Usaha budidaya organik tidak bisa dikelola asal-asalan, tetapi harus secara profesional. Ini berarti pengelola usaha ini harus mengenal betul apa yang dikerjakannya, mampu membaca situasi dan kondisi serta inovatif dan kreatif. Berkaitan dengan pasar (market), tentunya usaha agribisnis harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan berlanjut, agar produk yang telah dikenal pasar dapat menguasai dan mengatur pedagang perantara bahkan konsumen dan bukan sebaliknya.
Teknik budidaya organik merupakan teknik budidaya yang aman, lestari dan mensejahterakan petani dan konsumen. Berbagai sayuran khususnya untuk dataran tinggi, yang sudah biasa dibudidayakan dengan sistem pertanian organik, diantaranya : Kubis (Brassica oleraceae var. capitata L.), Brokoli (Brassica oleraceae var.italica Plenk.), Bunga kol (Brassica oleraceae var. brotritys.), Andewi (Chicorium endive), Lettuce (Lactuca sativa), Kentang (Solanum tuberosum L.), Wortel (Daucus carota).
Sayuran ini, mengandung vitamin dan serat yang cukup tinggi disamping juga mengandung antioksidan yang dipercaya dapat menghambat sel kanker. Semua jenis tanaman ini ditanam secara terus menerus setiap minggu, namun ada juga beberapa jenis tanaman seperti kacang merah (Vigna sp.), kacang babi (Ficia faba), Sawi (Brassica sp) yang ditanam pada saat tertentu saja sekaligus dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan pengalih hama. Ada juga tanaman lain yang ditanam untuk tanaman reppelent (penolak) karena aromanya misalnya Adas.  
Dalam upaya penyediaan media tanam yang subur, penggunaan pupuk kimia juga dikurangi secara perlahan. Untuk memperkaya hara tanah, setiap penanaman brokoli selalu diberi pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha. Lahan bekas tanaman brokoli selanjutmya dirotasi dengan tanaman wortel yang dalam penanamannya tidak perlu lagi diberi pupuk kandang. Nantinya setelah tanaman wortel dipanen atau 100 hari kemudian, lahan tersebut dapat ditanami brokoli kembali.

Pupuk Organik
Peningkatan mutu intensifikasi selama tiga dasawarsa terakhir, telah melahirkan petani yang mempunyai ketergantungan pada pupuk yang menyebabkan terjadinya kejenuhan produksi pada daerah-daerah intensifikasi padi. Keadaan ini selain menimbulkan pemborosan juga menimbulkan berbagai dampak negatif khususnya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu upaya perbaikan agar penggunaan pupuk dapat dilakukan seefisien mungkin dan ramah lingkungan.
Adanya kejenuhan produksi akibat penggunaan pupuk yang melebihi dosis, selain menimbulkan pemborosan juga akan menimbulkan berbagai dampak negatif terutama pencemaran air tanah dan lingkungan, khususnya yang menyangkut unsur pupuk yang mudah larut seperti nitrogen (N) dan kalium (K).
Selain itu, pemberian nitrogen berlebih disamping menurunkan efisiensi pupuk lainnya, juga dapat memberikan dampak negatif, diantaranya meningkatkan gangguan hama dan penyakit akibat nutrisi yang tidak seimbang. Oleh karena itu, perlu upaya perbaikan guna mengatasi masalah tersebut, sehingga kaidah penggunaan sumber daya secara efisien dan aman lingkungan dapat diterapkan.
Efisiensi penggunaan pupuk saat ini sudah menjadi suatu keharusan, karena industri pupuk kimia yang berjumlah enam buah telah beroperasi pada kapasitas penuh, sedangkan rencana perluasan sejak tahun 1994 hingga saat ini belum terlaksana. Di sisi lain, permintaan pupuk kimia dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, diperkirakan beberapa tahun mendatang Indonesia terpaksa makin banyak mengimpor pupuk kimia. Upaya peningkatan efisiensi telah mendapat dukungan kuat dari kelompok peneliti bioteknologi berkat keberhasilannya menemukan pupuk organik yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia. Pengembangan industri pupuk organik mempunyai prospek yang cerah dan menawarkan beberapa keuntungan, baik bagi produsen, konsumen, maupun bagi perekonomian nasional.
Upaya pembangunan pertanian yang terencana dan terarah yang dimulai sejak Pelita pertama tahun 1969, telah berhasil mengeluarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar dunia menjadi negara yang mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Namun di balik keberhasilan tersebut, akhir-akhir ini muncul gejala yang mengisyaratkan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber daya pupuk. Keadaan ini sangat memberatkan petani, lebih-lebih dengan adanya kebijakan penghapusan subsidi pupuk dan penyesuaian harga jual gabah yang tidak berimbang.
Beberapa penelitian yang menyangkut efisiensi penggunaan pupuk, khususnya yang dilakukan oleh kelompok peneliti bioteknologi pada beberapa tahun terakhir, sangat mendukung upaya penghematan penggunaan pupuk kimia. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan peningkatan daya dukung tanah dan/atau peningkatan efisiensi produk pupuk dengan menggunakan mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme pada pembuatan pupuk organik, selain meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, juga akan mengurangi dampak pencemaran air tanah dan lingkungan yang timbul akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan.
Industri pupuk organik saat ini mulai tumbuh dan berkembang, beberapa perusahaan yang bergerak dibidang pupuk organik cukup banyak bermunculan, antara lain seperti ; PT Trimitra Buanawahana Perkasa yang bekerjasama dengan PT Trihantoro Utama bersama Pemda DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi yang saat ini akan mengolah sampah kota DKI Jakarta, PT Multi Kapital Sejati Mandiri yang bekerjasama dengan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan Pemda Kabupaten Brebes Jawa Tengah yang mengolah sampah kota dan limbah perdesaan. PT PUSRI selain memproduksi pupuk kimia, saat ini bersama PT Trihantoro Utama dan Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta juga memproduksi pupuk organik. Sampah dan limbah organik diolah dengan menggunakan teknologi modern dengan penambahan nutrien tertentu sehingga menghasilkan pupuk organik yang berkualitas.
Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. Kemampuan pupuk organik untuk menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional sekaligus mengurangi biaya pemupukan telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian, baik untuk tanaman pangan (kedelai, padi, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu) yang diketahui selama ini sebagai pengguna utama pupuk konvensional (pupuk kimia). Lebih lanjut, kemampuannya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan terbukti sejalan dengan kemampuannya menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia.
Beberapa hasil penelitian di daerah Pati, Lampung, Magetan, Banyumas, organik terbukti dapat menekan kebutuhan pupuk urea hingga 100 persen, TSP/SP36 hingga 50 persen, kapur pertanian hingga 50 persen. Biaya yang dihemat mencapai Rp. 50.000/ha, sedangkan produksi kedelai meningkat antara 2,45 hingga 57,48 persen. Keuntungan yang diperoleh petani kedelai naik rata-rata p. 292.000/ha, terdiri dari penghematan biaya pemupukan sebesar Rp. 50.000/ha, dan kenaikan produksi senilai Rp. 242.000/ha (Saraswati et al., 1998).
Aplikasi pupuk organik yang dikombinasikan dengan separuh takaran dosis standar pupuk kimia (anorganik) dapat menghemat biaya pemupukan. Pengujian lapang terhadap tanaman pangan (kentang, jagung, dan padi) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena selain dapat menghemat biaya pupuk, juga dapat meningkatkan produksi khususnya untuk dosis 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik (Goenadi et. al., 1998). Pada kombinasi 75 persen pupuk kimia (anorganik) ditambah 25 persen pupuk organik tersebut biaya pemupukan dapat dihemat sebesar 20,73 persen untuk tanaman kentang ; 23,01 persen untuk jagung ; dan 17,56 persen untuk padi. Produksi meningkat masing-masing 6,94 persen untuk kentang, 10,98 persen untuk jagung, dan 25,10 persen untuk padi. Penggunaan pupuk organik hingga 25 persen akan mengurangi biaya produksi sebesar 17 hingga 25 persen dari total biaya produksi.
Dengan adanya diversifikasi produk dari pupuk organik ini maka prospek pengembangan industri pupuk organik ke depan akan semakin menguntungkan sehingga lahan pekerjaan baru akan semakin luas.

Pengendalian Hama & Penyakit yang Organik
Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Dilarangnya penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian organik merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi. 
Di sisi lain, petani telah terbiasa mengandalkan pestisida sintetik sebagai satu-satunya cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya hama dan penyakit tumbuhan.  Seperti diketahui, terdapat sekitar 10.000 spesies serangga yang berpotensi sebagai hama tanaman dan sekitar 14.000 spesies jamur yang berpotensi sebagai penyebab penyakit dari berbagai tanaman budidaya.  Alasan petani memilih pestisida sintetik untuk mengendaliakan OPT di lahannya a.l. karena aplikasinya mudah, efektif dalam mengendalikan OPT, dan banyak tersedia di pasar. 
Cara-cara lain dalam pengendalian OPT  selain pestisida sintetik, pestisida biologi dan pestisida botani antara lain yaitu cara pengendalian menggunakan musuh alami, penggunaan varietas resisten, cara fisik dan mekanis, dan cara kultur teknis. 
            Pestisida dapat berasal dari bahan alami dan dapat dari bahan buatan. Di samping itu, pestisida dapat merupakan bahan organik maupun anorganik.  
Secara umum disebutkan bahwa pertanian organik adalah suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau menolak penggunaan pupuk sintetis pestisida sintetis, dan senyawa tumbuh sintetis. 

OPM versus IPM
Ada istilah yang juga penting untuk diketahui yaitu Organik Pest Management (OPM), yaitu pengelolaan hama dan penyakit menggunakan cara-cara organik.  Selama ini telah lama dikenal istilah Pengendalian Hama Terpadu atau Integrated Pest Management (IPM). Persamaan diantara keduanya adalah bagaimana menurunkan populasi hama dan patogen pada tingkat yang tidak merugikan dengan memperhatikan masalah lingkungan dan keuntungan ekonomi bagi petani.  Walaupun demikian, ada perbedaan-nya yaitu bahwa pestisida sintetik masih dimungkinkan untuk digunakan dalam PHT, walaupun penggunaannya menjadi ‘bila perlu’. 

‘Bila perlu’ berarti bahwa aplikasi pestisida boleh dilakukan bila cara-cara pengendalian lainnya sudah tidak dapat mengatasi OPT padahal OPT tersebut  diputuskan harus dikendalikan karena telah sampai pada ambang merugikan.
Bila dalam PHT masih digunakan pestisida sintetik, maka PHT tidak dapat dimasukkan sebagai bagian dalam pertanian organik.  Akan tetapi, bila  pestisida sintetik dapat diganti dengan pestisida alami, yang kemudian disebut sebagai pestisida organik, atau cara pengendalian lain non-pestisida maka PHT dapat diterapkan dalam pertanian organik. 

Cara-Cara Pengendalian Non-Pestisida yang Aman Lingkungan
Banyak cara pengendalian  OPT selain penggunaan pestisida yang dapat digunakan dalam pertanian organik. Salah satunya yaitu dengan menghindarkan adanya OPT saat tanaman sedang dalam masa rentan.  Cara menghindari OPT dapat dilakukan dengan mengatur waktu tanam, pergiliran tanaman, mengatur jarak tanam ataupun dengan cara menanam tanaman secara intercropping.
Selain itu, penggunaan varietas tahan merupakan suatu pilihan yang sangat praktis dan ekonomis dalam mengendalikan OPT.Walaupun demikian, penggunaan varietas yang sama dalam waktu yang berulang-ulang dengan cara penanaman yang monokultur dalam areal yang relatif luas akan mendorong terjadinya ras atau biotipe baru dari OPT tersebut.
Cara fisik dan mekanis dalam pengendalian OPT dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dengan sanitasi atau membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman sakit atau hama.  Selain itu, hama dapat diambil atau dikumpulkan dengan tangan.  Hama juga dapat diperangkap dengan senyawa kimia yang disebut sebagai feromon, atau menggunakan lampu pada malam hari.  Hama juga dapat diusir atau diperangkap dengan bau-bauan lain seperti bau bangkai, bau karet yang dibakar dan sebagai-nya.  Penggunaan mulsa plastik dan penjemuran tanah setelah diolah dapat menurunkan serangan penyakit tular tanah.  Hama dapat pula dikendalikan dengan cara hanya menyemprotkan air dengan tekanan tertentu atau dikumpulkan dengan menggunakan penyedot mekanis. 
Pengendalian dengan cara biologi merupakan harapan besar untuk pengendalian OPT dalam pertanian organik.  Cara ini antara lain menyang-kut penggunaan tanaman perangkap, penggunaan tanaman penolak (tanaman yang tidak disukai), penggunaan mulsa alami, penggunaan kompos yang memungkinkan berkembangnya musuh alami dalam tanah, dan penggunaan mikroba sebagai agen pengendali. ( Dr. Ir. Ririen Prihandarini MS)

Read On 0 comments

Pertanian Organik Dan Revitalisasi Pertanian

Wednesday, June 11, 2008

Pertemuan ini menurut saya sangat penting dan strategis dalam rangka menjawab tantangan globalisasi dan trend permintaan konsumen maupun pasar dunia yang berkembang saat ini yang mulai sangat peduli terhadap produk-produk yang bebas residu kimia, ramah lingkungan dan menyehatkan seperti produk pertanian organik. Tentu saja hal ini juga penting dalam rangka pengembangan pertanian organik di Indonesia di masa mendatang sehingga Indonesia mampu menjadi produsen organik terkemuka di dunia. Hal ini dapat dimengerti mengingat potensi Indonesia yang sangat kaya akan plasma nutfah dan sebagian besar lahan pertaniannya, khususnya yang di luar jawa, masih bersifat “virgin” sehingga otomatis produk yang dihasilkannya secara given telah merupakan pangan organik. Topik yang dibahas dalam workshop ini juga sangat sejalan dengan Visi Pembangunan Pertanian Tahun 2005 -2009, yaitu terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah, dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani.

Secara pribadi maupun kelembagaan, saya sangat mendukung terus dikembangkannya pertanian organik di Indonesia dan berbagai upaya yang telah dan akan diprogramkan oleh Masyarakat Pertanian Organik; yang walaupun dalam usia nya yang relatif masih muda telah mampu mencoba bertindak nyata dalam upaya mempopulerkan dan mengangkat citra produk pertanian organik Indonesia dalam rangka mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang tangguh . Workshop dan kongres ini juga merupakan upaya nyata menghimpun berbagai sumberdaya dan kekuatan untuk merevitalisasi pertanian sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional dalam bentuk yang riil dan tidak sebatas konsep nyata.

Pada beberapa kesempatan, saya sudah menjelaskan bahwa pembangunan pertanian dihadapkan pada sejumlah kendala dan masalah yang harus segera dipecahkan, yaitu antara lain:1) keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, 2) lemahnya sistem alih teknologi dan kurang tepatnya sasaran, 3) terbatasnya akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, 4) panjangnya rantai tataniaga dan belum adilnya sistem pemasaran, 5) rendahnya kualitas, mentalitas, dan keterampilan sumberdaya petani, 6) lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani, 7) lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, dan 8) belum berpihaknya kebijakan ekonomi makro kepada petani. Namun, terlepas dari kendala dan masalah di atas, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan, tetapi juga dalam penyediaan kesempatan kerja, sumber pendapatan, penyumbang devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Devisa dari sektor pertanian dan usaha lain berbasis pertanian diharapkan meningkat dari sekitar 7,8 milyar US$ saat ini menjadi 12 milyar US$ tahun 2009. Untuk menjawab tantangan tersebut, Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan bahwa Revitalisasi Pertanian merupakan salah satu prioritas pembangunan ekonomi nasional. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka upaya yang diprakarsai oleh Maporina menjadi sangatlah penting dalam rangka mempercepat pencapaian target di atas.

Sejalan dengan ruh dan visi pembangunan pertanian sebagaimana dikemukakan di atas, diantara beberapa misi Departemen Pertanian adalah mendorong terwujudnya pertanian yang tangguh, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dan mendorong peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, melalui peningkatan PDB, ekspor, penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; serta memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan Internasional. Misi yang ingin dicapai tersebut sesungguhnya sangat sesuai dengan misi dari pertanian organik seperti yang ditekankan oleh International Federation of Organik Agriculture Movement (IFOAM) maupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Codex menegaskan bahwa pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik yang mendukung dan meningkatkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sedangkan IFOAM menjelaskan bahwa pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial. Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu, namun juga merupakan satu filosofi dengan tujuan.mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan dan orang.

Fokus kegiatan dari Departemen Pertanian adalah bagaimana meningkatkan pendapatan petani sehingga perlu didorong pengembangan komodiats bernilai tinggi (hortikultura, perkebunan, peternakan) dan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan hasil. Untuk mencapai hal tersebut tentunya tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Pertanian saja atau kepada pemerintah saja. Keterlibatan dan kerjasama dari semua stakeholders yang terlibat dalam pembangunan pertanian, yaitu masyarakat, sektor swasta, LSM, akademisi, legislatif, media massa, organisasi profesi seperti MAPORINA, serta sektor yang terkait dengan pembangunan pertanian sangatlah penting dan perlu terus digalang. Karenanya pengembangan pangan organik merupakan salah satu langkah konkrit untuk menggapai visi dan misi kita yang pada ujungnya kita harapkan dapat membuat petani kita lebih makmur, sejahtera dan sekaligus menjadikan pertanian sebagai sektor usaha yang menarik khususnya untuk para generasi muda kita yang saat ini cenderung semakin menurun minatnya untuk terjun di bidang pertanian.

Agar sektor pertanian mampu menjadi tulang punggung perekonomian bangsa sebagaimana dimaksudkan dalam Revitalisasi Pertanian, maka produk pertanian kita harus mampu bersaing dan memberikan nilai positif yang dapat dirasakan oleh konsumen. Produk pertanian kita tidak mungkin mampu bersaing bila sistem pertanian kita tidak mampu menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dan aman sesuai dengan tuntutan konsumen saat ini. Pada era pasar bebas ini produk kita semakin dituntut untuk mampu bersaing bukan hanya di pasar internasional namun juga di pasar domestik. Hal ini terkait dengan semakin membanjirnya produk-produk pertanian dari negara lain ke negara kita, sementara produk kita semakin susah masuk ke negara lain terkait semakin ketatnya persyaratan yang ditetapkan negara tempat tujuan ekspor. Hal ini merupakan implikasi yang wajar dari diratifikasinya perjanjian WTO mengenai SPS dan TBT. Tantangan bagi produk pertanian untuk mampu bersaing di era global semakin berat karena berbagai kendala yang telah disebutkan di atas. Karena itu perlu ada terobosan-terobosan untuk mampu mengatasi hal tersebut sekaligus menjadikan kedua perjanjian WTO tersebut menjadi peluang bagi majunya sektor pertanian kita. Pertanian organik merupakan salah satu alternatif yang kita harapkan akan terus dan terus bertambah kontribusinya terhadap PDB kita. Kita tahu di negara lain, khususnya di negara-negara Eropa, Amerika Latin, dan Ameriak Serikat pertanian organik merupakan sektor pangan yang paling cepat pertumbuhannya. Laju pertumbuhan penjualan pangan organik berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir ini.

Sama-sama disadari bahwa untuk untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan petani dan meningkatkan daya saing produk pertanian kita ada beberapa hal yang harus digali dan diupayakan seperti: 1) Dukungan sarana modal dan transportasi yang memadai; 2) Bantuan teknis dan pemasaran, 3) Peningkatan SDM Pertanian dan Pembinaan yang terus menerus kepada petani dan 4) Adanya sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan produk pertanian sehingga mampu menghambat masuknya produk luar yang tidak bermutu dan sekaligus mendorong peningkatan ekspor produk pertanian kita. Dalam rencana kerja departemen pertanian tahun 2005, peningkatan mutu dan keamanan pangan merupakan salah satu kegiatan pokok dari program peningkatan ketahanan pangan.

Pemerintah pmenyadari bahwa pertanian organik merupakan satu pilihan dalam produksi pertanian yang memungkinkan usaha kecil Indonesia menjaga ketahanan pangan rumah tangga dan penghasilan yang cukup sambil meregenerasi tanah, memperoleh kembali keanekaragaman hayati, dan menyediakan pangan bermutu bagi masyarakat loka.. Kentungan-keuntungan dari pangan organik tersebut telah ditunjukkan oleh sistem pertanian organik yang beragam dan terntegrasi yang secara ekonomi layak., ramah lingkungan, dan meningkatkan budaya masyarakat. Skenario ini tampaknya hampir tidak realistis bagi orang yang tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang tujuan tujuan lingkungan, ekonomi dan sosial dari pertanian organik. . Tujuan-tujuan tersebut sangat relevant dengan masayarakt pedesaan Indonesia, dimana kemiskinan merupakan menyebab utama dari ketidaktahanan pangan yang kronis dan stress lingkungan yang tidak berkurang seperti degradasi tanah, susut tanah, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi tanah/air.

Sejalan dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan keamanan pangan, isu perlindungan lingkungan, isu pemberdayaan petani, pemerintah bersama stakeholder lainnya termasuk MAPORINA harus melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan dan mengembangkan pertanian organik. Petani dan dan produsen makanan ke depan perlu didorong untuk sedikiti demi sedikit menerapakn sistem pertanian ini. Hal ini penting mengingat Indoensia menguasai lebihd ari 20% lahan pertanian tropis dengan plasma nutfahnya yangs angat beragam. Ke depan, kebijakan pemerintah mungkin perlu ditinjau kembali agar perhatian terhadap pertanian organik lebih dapat ditingkatkan. Terlebih lebih dengan terjadinya krisis pasokan gas bagi beberapa industri pupuk, perlu ada alternatif pengganti agar petani tidak kekurangan input produksi yang sangat vital ini. Dengan penerapkan pertanian organik tentu saja ketergantungan petani kita akan pupuk kimia dapat dikurangi.

Sehubungan dengan banyaknya manfaat dan dampak yangd apat dirasakan dari penerapan sistem pertanian organik tersebut, Departemen Pertanian sejak tahun 2000 telah memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan pertanian organik di Indonesia. Bahkan pada saat itu dicanangkan untuk mencapai Go Organik 2010. Selanjutnya untuk mencapai Go Organik 2010 tersebut berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan. Diantaranya adalah dengan dibentuknya Otoritas Kompeten Pertanian Organik melalui SK Menteri Pertanian Nomor: 432/Kpts/OT.130/9/2003 dan Pembentukan Task Force Organik. Berbagai pelatihan fasilitator dan inspektor organik, seminar dan workshop untuk mensosialisasikan pertanian organik kepada masyarakat dan stakeholder telah dilakukan bekerjasama dengan berbagai lembaga yang telah bergerak di bidang pertanian organik saat itu. Bahkan kita telah berhasil mengajukan SNI Pertanian Organik yang alhamdulillah telah dikonsensuskan dan disahkan oleh BSN yaitu SNI 01-6729-2002. Memang, diakui dengan adanya restrukturisasi di Departemen Pertanian, sepertinya ada kebingungan dan kekhawatiran mengenai bagaimana arah kebijakan pemerintah (Departemen Pertanian) mengenai pengembangan dan pembinaan pertanian organik ke depan. InsyaAllah, sesuai dengan semangat revitalisasi pertanian, sesuai dengan misi dan visi departemen pertanian, pertanian organik akan terus kita dukung dan mudah-mudahan ke depan bisa dipikirkan adanya kebijakan khusus untuk pertanian organik ini misalnya adanya subsidi untuk pupuk organik dan pestisida hayati sehingga ketersediaan input yang memenuhi persyaratan pertanian organik bisa tercukupi.

Dukungan pemerintah terhadap pertanian organik juga sejalan dengan upaya lainnya yang telah dan sedang dijalankan oleh Depatan yaitu program peningkatan mutu dan keamanan produk pertanian Indonesia sehingga mempunyai daya saing yang tinggi yang dikenal dengan SiSakti atau Sistem Sertifikasi Pertanian Indonesia yang pencanangannya telah saya laksanakan dalam bentuk Gerakan Kampanye Sadar Pangan Bermutu pada tanggal 30 November 2004. Tentu saja dengan adanya MAPORINA dengan struktur kepengurusannya yang sangat kuat, program pertanian organik di Indonesia menjadi lebih kuat dan bisa lebih cepat mengejar ketertinggalan dari negara lain yang telah lebih dulu maju dalam sistem pertanian ini. Agar Go Organik 2010 bisa benar-benar terealisir danIndonesia bisa menjadi produsen organik terkemuka , banyak hal yag harus kita siapkan dan mantapkan yang saya harap dalam workshop dan kongres ini bisa diformulasikan. Saya juga mungkin akan mengusulkan agar PP 28/2004 bisa direvisi agar Sistem Pertanian Organik bisa masuk dan diatur dalam PP tersebut.

Melalui workshop ini, pula saya menyarankan agar Maporina tidak terjebak pada pengertian pertanian organik yang sempit semisal hanya berkutat pada pupuk organik, buah dan sayuran organik. Namun juga perlu dikaji kemungkinan pengembangan pertanian organik untuk jenis usaha tani lainnya semisal produk perkebunan organik (kelapa, vanilla, virgin oil, sawit), ternak organik, unggas dan puyuh organik, susu organik, madu organik, sutera organik, kecambah organik termasuk produk olahan organik yang bisa memenuhi kebutuhan konsumen akan produk organik.
Untuk meningkatkan kepercayaan pasar, program sertifikasi dan pembinaannya perlu terus ditingkatkan sehingga program sertifikasi organik Indonesia diakui dunia dan para petani kita tidak perlu membayar mahal biaya sertifikasi. Pelatihan Internal Control System (ICS) perlu diperluas sehingga lebih banyak lagi kelompok tani yang tersentuh oleh program ini. Departemen pertanian melalui dirjen teknis yang ada siap membantu memfasilitasi pelatihan-pelatihan ICS kepada para petani kita. InsyaAllah dengan adanya revitalisai penyuluhan pertanian, nantinya para penyuluh juga akan dibekali dengan materi dan keterampilan sistem pertanian organik sehingga bila petani ingin beralih usaha ke pertanian organik mereka tidak perlu kesulitan. Peran LSM yang selama ini banyak membantu petani tentu harus terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Kami dari pihak pemerintah memberikan penghargaan atas peran sertanya membangun dan mensejahterakan petani kita. Kita sadari bahwa keberhasilan program pertanian menjadi sia-sia kalau kesejahteraan petani tidak ada peningkatan.

Menteri Pertanian,
Ir. Anton Apriantono 
Read On 0 comments

Popular Posts

Followers